UA-111174953-1

Kamis, 16 Februari 2017

Jakarta Good Guide: Menjelajah Kota Cina di Ibu Kota


Jelang perayaan tahun baru Cina atau Imlek, Jakarta Good Guide mengadakan walking tour yang bertema "China Town" di kawasan Glodok, Petak Sembilan.. Rute perjalanan kali ini diawali di Gedung Candra Naya, lalu menuju Pasar di Jalan Pancoran, Vihara Dharma Bhakti, Gereja Katolik St. Maria De Fatima, Vihara Dharma Jaya Toseibo, Tempat Kaligrafi Cina, Kedai Es Kopi Tak Kie, dan berakhir di Gedung Olveh.

Seluruh peserta berkumpul di Novotel Hotel Gajah Mada dan tepat jam 9 pagi, seluruh peserta dibagi dalam 2 kelompok yang masing-masing berjumlah kurang lebih 12 orang dengan dipimpin oleh 1 orang tour guide. Tujuan pertama yaitu Gedung Candra Naya yang lokasinya tepat berada di kawasan Novotel Hotel. Karena gedung ini merupakan suatu gedung cagar budaya, jadi Gedung Candra Naya tidak dihancurkan pada saat pembangunan hotel. Gedung Candra Naya merupakan bekas rumah seorang mayor, Khouw Kim An yang hidup pada zaman Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sekitar tahun 1875-1945. Dari cerita Mba Rita, tour guide kami, bangunan ini dibangun pada tahun Kelinci Api yaitu tahun 1807 atau 1867 yang  oleh Khow Tian Sek (kakek Khouw Kim An). Gedung ini dibuat untuk salah satu anaknya, yaitu Khow Tjeng Tjoan yang memiliki 14 istri dan beberapa anak, yang kemudian diwariskan pada salah satu anaknya, Khow Kim An. Khow Kim An diangkat sebagai mayor oleh Pemerintah Hindia Belanda yang bertugas untuk mengurusi masyarakat Tionghoa, namun pada zaman Jepang, ia diasingkan ke Cimahi hingga wafat.

Dari segi arsitektur, bangunan ini memiliki ujung atap yang berornamen seperti burung walet. Model yang menunjukan bahwa rumah ini merupakan rumah seorang bangsawan. Sama seperti rumah Tionghoa lainnya, rumah ini juga memiliki ruang lapang pada bagian tengah yang berfungsi untuk sirkulasi udara. Ada sesuatu yang khusus di bagian pintu, yaitu benda berbentuk segi delapan yang melambangkan keberuntungan.

Gedung Candra Naya yang berada di kawasan Hotel Novotel Gajah Mada
Setelah menelusuri gedung Candra Naya, kami berjalan memasuki pasar glodok yang berada di wilayah Petak Sembilan yang pada saat itu banyak dijual ornamen-ornamen imlek. Di dalam pasar yang berbentuk gang kecil, kami banyak menemukan pakaian, teripang, sekba (jeroan babi), aneka kue basah, somay, dan lain-lain.

Teripang laut yang banyak dijual di Pasar Glodok
Setelah melewati pasar, kami tiba di Vihara Dharma Bhakti. Karena menjelang Imlek, vihara ini ramai dipenuhi kaum Tionghoa yang sedang sembahyang dan juga rombongan tur domestik dan internasional. Tour guide kami banyak sekali menceritakan tentang asal muasal berdirinya vihara ini, filosofi menerbangkan burung, hingga tragedi kebakaran yang menghanguskan sebagian bangunan. Karena kebakaran yang begitu besar pada tahun 2015, maka lilin-lilin besar yang tadinya berada di dalam, dipindahkan ke luar. Oleh karena itu, saat perayaan malam Imlek ada banyak mobil pemadam api di sekitar vihara. Memasuki vihara ini, kami melihat 3 orang yang sedang memilah dan mengepak hio. Hio yang dipilah harus ganjil, mulai dari 3, 5, dan kelipatan bilangan ganjil lainnya. Konon, semakin banyak hio yang dibakar semakin besar pula keinginan yang terkabul.

Pintu gerbang Vihara Dharma Bhakti

Suasana hikmat di dalam vihara

Hio yang sedang dikemas untuk sembahyang menjelang Imlek

Lilin besar yang dipindahkan keluar karena peristiwa kebakaran tahun 2015
Kondisi atap vihara yang hangus terbakar api

Masih di deretan jalan yang sama, kami mampir ke Gereja Katolik St. Maria De Fatima, gereja yang memiliki bangunan budaya Tionghoa. Terlihat dari atap gereja yang berbentuk seperti vihara, juga terdapat moon gate di samping kanan dan kiri altar.
Percampuran budaya Tionghoa yang terlihat dari atap gereja

Gerbang bulan atau moon gate yang menjadi ciri khas ornamen Tionghoa

Tak jauh dari Gereja Katolik St. Maria De Fatima, kami mengunjungi Vihara Dharma Toasebio. Memasuki pintu gerbang, kami disambut dengan kegiatan pembersihan patung-patung yang merupakan tradisi masyarakat setempat menjelang Imlek. Kami juga menemukan dua bentuk pohon tinggi yang berisi kertas doa-doa di dalam vihara. Pohon ini merupakan pengganti tempat kertas doa yang biasanya menggunakan gelas dan lilin sehingga tidak menimbulkan asap di ruangan. Dengan adanya pohon ini, bukan berarti kertas doa yang memakai lilin tidak ada, malah ada banyak sekali.

Vihara Dharma Toasebio

2 pohon besar yang berisi doa-doa


Lilin-lilin yang menyinari kertas doa

Selesai kunjungan vihara, kami diajak untuk membeli es kelapa jeruk yang mangkal di depan vihara. Harga es kelapa jeruk hanya Rp10.000 saja, sedangkan es jeruk Rp7.000. Perjalanan belum usai, kami meneruskan perjalanan menuju tempat kaligrafi tulisan Cina yang ditulis sendiri oleh Koh Akwet di toko Sanjaya . Hanya sedikit orang yang handal menulis kaligrafi ini, bahkan kata Koh Akwet anaknya sendiri pun tidak semahir beliau. Karena beliau sangat sibuk sekali, kami pun hanya mampi sebentar dan melanjutkan perjalanan kami. Di perjalanan, tour guide kami menjunjukan bakpia khas daerah glodok. Ada rasa keju, coklat, dan kacang hijau. Rasanya gurih banget, saat digigit teksturnya langsung lumer di mulut. Harganya pun hanya Rp5.000 per buah.

Koh Akwet sedang menulis kaligrafi Cina

Bakpia gurih dengan rasa keju, cokelat dan kacang hijau
Kenyang makan bakpia dan minum sisa-sisa es kelapa jeruk, kami lanjut jalan lagi menyebrangi jalan Pancoran dan masuk ke Gang Gloria, gang yang jadi sumber kuliner halal dan tidak halal. Sempitnya gang dan banyaknya orang, membuat kami harus sabar dan hati-hati dalam berjalan. Setelah berjalan kurang lebih 100 meter, kami tiba di Es Kopi Tak Kie! Salah satu kopi legend di Jakarta. Kedai ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Buka jam 7 pagi dan tutup jam 2 siang. Bahkan, jam 12 pun kadang sudah habis. Jadi, disarankan datang lebih pagi untuk bisa menyeruput kopi dan menikmati roti sarikaya di kedai ini. Beruntung kami mendapat tempat duduk dan segera memesan es kopi andalannya. Rasanya memang enak! Campuran kopi dan susunya pas banget. Selain es kopi, kalian juga bisa memesan kopi hitam dan teh tarik plus roti sarikaya. Wajib ke sini lagi sih buat rasain teh tariknya.

Kopi legend yang ada di Glodok

Suasana di dalam kedai Es Kopi Tak Kie
Es kopi segar diminum siang hari
Keluar dari gang, kami tiba di jalan utama yang hanya beberapa meter dari Museum Mandiri. Mengakhiri tur kali ini, kami berjalan menuju Gedung Olveh atau Sarasvati yang tepat berada di samping Stasiun Kereta Api Kota. Ada yang unik dari gedung ini. Ada tangga turun untuk menuju pintu Gedung Olveh. Bukan karena gedung ini berada beberapa centimeter di bawah jalan aspal, tetapi karena jalannya yang meninggi. Kalian juga bisa melihat bata-bata asli di dinding tangga yang dibangun pada zaman pemerintahan Hindia Belanda lho. Di gedung ini juga terdapat kantor Sarasvati dan Coffee Shop Semasa.

Burung-burung unik menyambut kedatangan kami di Gedung Olveh

Perjalanan tur kami ditutup dengan pengisian kuesioner tentang tur yang kami jalani tadi. Sambil mengumpulkan kertas kuesioner yang telah diisi, kami juga memasukan tip untuk tour guide kesayangan kami, Mba Rita yang banyak memberikan informasi dan selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Perjalanan tur ini tidak dipatok harga, tetapi kita membayar sesuai dengan kepuasan kita akan informasi dan pengalaman yang didapat. Seru kan. Next, harus ikut tour Jakarta Good Guide lainnya nih.

Teman-teman walking tour "China Town"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar